Andhika Prasetyo | Politik dan Hukum | 03 August 2020, 04:26 WIB
PEMBENTUKAN lembaga peradilan khusus pemilihan umum (pemilu) sudah sangat mendesak. Selama ini, hampir seluruh permasalahan pemilu ditangani Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hanya sengketa terkait dengan hasil yang dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut dinilai berpotensi memunculkan ketidakadilan di dalam pesta demokrasi.
“Bawaslu seakan-akan menjadi polisi, hakim, jaksa. Ada kewenangan yang menumpuk di satu lembaga. Ketika itu menumpuk dari hulu sampai hilir, mulai dari pengawasan, penindakan, sampai ajudikasi, itu dampak negatifnya jadi lebih besar dan keadilan sulit kita dapat,” ungkap Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa dalam diskusi virtual bertajuk Menakar Urgensi Peradilan Khusus Pemilu, kemarin.
Dalam pemilu selama ini, kata dia, banyak persoalan yang tidak terselesaikan sampai proses pemilu berakhir. Selain itu, penyelesaian sengketa hasil pemilu, mulai DPRD, DPD, DPR, sampai pilpres, semua menumpuk di MK. Dengan sumber daya yang terbatas, sambungnya, putusan yang dihasilkan kerap tidak maksimal.
Pandangan serupa dilontarkan pengamat hukum tata negara Agus Riewanto. Ia melihat peradilan pemilu di Tanah Air selama ini sangat anomali. “Banyak kasus yang diputuskan setelah tahapan pemilu selesai. Bayangan masyarakat, ketika tahapan pemilu berakhir, putusan kasus sudah selesai. Kenyataannya belum. Akhirnya keadilan tidak tercapai,” ucapnya.
Tumpang-tindih
Belum lagi ada tumpang-tindih putusan peradilan yang membuat kepastian hukum tidak tercapai. Seperti pada kasus Oesman Sapta Odang (OSO). Polemik bermula dari putusan MK yang menyatakan DPD tidak boleh diisi pengurus parpol.
KPU pun menindaklanjuti putusan MK dan mencoret nama OSO dari daftar bakal caleg DPD karena masih berstatus Ketua Umum Partai Hanura. OSO pun melakukan uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung dan menggugat SK pencoretan namanya ke PTUN. MA dalam putusannya berpendapat bahwa aturan tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap bakal caleg DPD Pemilu 2019.
“Kemudian ada kasus Wakil Ketua DPRD Gunung Kidul, Ngadiyono, yang pakai mobil dinas saat kampenye. KPU mempersoalkan hal itu dan pengadilan negeri setempat memutus bersalah. Namun, Ngadiyono banding ke PTUN. Di sana ia dinyatakan tidak terbukti bersalah. Akhirnya bingung KPU,” jelas Agus.
Polemik tumpang-tindih putusan membuat proses peradilan menjadi tidak efektif dan efi sien. Setelah melalui tahapan yang panjang, memakan biaya negara yang cukup besar, putusan yang muncul membingungkan. “Akhirnya hasil itu tidak mencapai tujuan,” tuturnya.
Oleh karena itu, menurutnya, sangat penting dimunculkan satu lembaga peradilan khusus yang benar-benar fokus pada penyelesaian persoalan yang terkait dengan pemilu. Tujuannya hasil pemilu memiliki kepastian hukum sehingga keadilan bisa terwujud.
Namun, imbuh Agus, pembentukan lembaga peradilan itu memerlukan proses panjang demi menemukan skema yang tepat. “Kita harus bisa menentukan desain lembaga itu mau seperti apa. Daya jangkaunya seperti apa. Jangan hanya mereplikasi lembaga yang sekarang sudah ada,” tandasnya. (P-3)
Sumber: https://m.mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/333518/peradilan-khusus-pemilu-demi-kepastian-hukum