UU ini disusun tidak dalam kelaziman penyusunan perundang-undangan yang bersifat teknokratik. Maka berpotensi cacat secara formil.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang disetujui DPR (5/10/2020) kemarin menjadi Undang-Undang (UU) menuai kritik dan penolakan dari publik dalam berbagai bentuk ekspresi. Karena substansi materi UU terdiri dari 905 halaman dan 186 Pasal ini hanya akan menguntungkan elit politik dan pengusaha.
UU ini juga lebih mengutamakan logika ekonomi belaka agar investor mudah dan leluasa menanamkan modal. Akibatnya, DPR dan presiden dikendalikan para pengusaha dalam mendesain UU ini untuk memasukan agenda kepentingan terselubung (hiden interest agenda).
Proteksi Investor Berlebihan
Jika tujuan UU Ciptaker ini untuk memudahkan investor menanamkan modal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan dengan cara yang logis dan tidak potong kompas mungkin masih dapat dibenarkan. Misalnya, memangkas prosedur perizinan yang berbelit, menyederhanakan sistem birokrasi kemudahan berusaha, memperbaiki tata kelola pemerintahan antikorupsi dan suap. Bukan dengan cara membuat UU Ciptaker yang isinya secara instan memfasilitasi keinginan investor dengan proteksi yang berlebihan.
Akibatnya UU ini merendahkan martabat pekerja, tanpa memerperhatikan analisis dampak lingkungan (Amdal), hak-hak pekerja dan mencomot dengan serampangan 76 UU dalam berbagai sektor tanpa kajian mendalam untuk dinormakan dalam UU Ciptaker dalam bentuk teknik Omnibus Law akibatnya dengan jumlah pasal dan ayat dalam UU ini spektakuler dalam sejarah UU di Indonesia.
Cacat Formil
Secara formil atau tata cara pembuatannya sesungguhnya UU Ciptaker yang terdiri dalam 15 bab itu diambil berbagai UU sektoral ini sulit diterima akal sehat. Model Omnibus Law sebagai pilihan caranya pun belum dikenal dalam sistem pembentukan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur ke dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Akibatnya UU ini disusun tidak dalam kelaziman penyusunan perundang-undangan yang bersifat teknokratik. Maka berpotensi cacat secara formil.
Sebenarnya teknis pembentukan produk UU telah diatur rigid dalam UU No. 12 Tahun 2011, yakni dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. UU Ciptaker ini dibuat tidak mengikuti prosedur teknokratik sejak dari perencanaannya yang sangat tertutup tanpa pelibatan partisipasi publik dan lebih mempercayakan pelibatan dari para pengusaha dan elit politik. Padahal dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perencanaan dan penyusunan sangat esensial, karena sesungguhnya dalam perencanaan dan penyusunan inilah secara teknik UU ini akan diarahkan pada tujuan tertentu politik hukumnya.
Tanpa Partisipasi Publik
Dalam tahap perencanaan dan penyusunan ini diperlukan pelibatan dan partisipasi publik yang luas dan beragam dari berbagai latar terutama subjek hukum (adresat) yang hendak dikenai dari UU ini, yakni pekerja atau buruh dan para pemangku kepentingan (stakeholders).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur perlunya partisipasi publik dalam perencanaan dan penyusunan suatu UU. Dalam tahapan perencanaan dan penyusunan ini seharusnya Naskah Akademik (NA) dan Draf RUU Ciptaker sudah harus dipublikasikan dan diperdebatan secara luas untuk menyerap aspirasi publik. Realitasnya UU Ciptaker ini tak melalui pelibatan publik yang luas dalam proses ini hanya melibatkan segelintir pihak saja. Bahkan draf RUU yang disampaikan kepada publik simpang siur alias kontroversial otentisitasnya.
Publik hanya diperontonkan perdebatan pada saat pembahasan UU ini di DPR, padahal dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan pembahasan di DPR tidak begitu penting dan esensial, karena tahapan pembahasan ini hanya bersifat politis bukan teknokratis tidak lagi membahas semua pasal, ayat dan bagian dari RUU, melainkan hanya membahas aspek-aspek politis dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) sehingga tahapan ini hanyalah tahapan pemanis (sweetener) saja.
Dalam tahap pembahasan UU Ciptaker ini juga unik karena dilakukan hanya di hilirnya saja bukan di hulu karenanya publik tak bisa mengaksses perdebatan di DPR karena dilakukan di masa reses dan hanya melalui media sosial minus akuntabilitas publik. Harus diakui bahwa pembuatan perundang-undangan di Indonesia secara teknis tidak banyak diketahui publik, maka seolah-olah tahap pembahasan ini dianggap penting padahal yang paling krusial adalah pada tahapan perencanaan dan penyusunan.
Setelah tahapan pembahasan dilanjutkan tahapan pengesahan atau persetujuan di dalam sidang paripurna yang tahapan ini juga tak esensial, karena hanya mendengarkan tanggapan antar fraksi di DPR. Biasanya isu-isu krusial telah diselesaikan dalam ruang-ruang lobby di hotel mewah sehingga pada tahapan ini hanya membacakan tanggapan yang sangat politis. Itulah sebabnya dalam tahapan ini tak ada lagi perdebatan yang berkualitas.
Kendati dalam pengesahan UU Ciptaker di DPR terdapat dua fraksi yang menolak, yakni fraksi partai Demokrat (FPD) dan fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), namun tak dianggap penting karena secara politis telah diselesaikan lewat pintu pimpinan partai politik pendukung presiden. Itulah sebabnya FPD memilih walk out dari ruang sidang. Seharusnya jika ada fraksi yang tidak setuju terhadap suatu RUU dalam sidang paripurna dilakukan dengan pemungutan suara (voting) untuk mencapai suara mayoritas.
Potensi Dibatalkan MK
Sampai di sini, UU Ciptaker ini dari aspek formil tak memenuhi syarat UU sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Maka jika saja diajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 1945 agar MK menguji dan menafsrkan dari aspek formil, apakah UU Ciptaker ini melanggar prinsip-prinsip konstitusional yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, maka besar peluangnya untuk dikabulkan MK dan potensi UU ini batal diberlakukan.
Dalam ilmu perundang-undangan (legal drafting) secara teori dan praktik jika suatu UU dinyatakan oleh MK secara formil pembuatannya melanggar konstitusi, maka sudah pasti UU ini batal demi hukum.
Kecuali hakim-hakim MK terbawa sindrom “balas budi” karena telah diberi kompensasi oleh DPR melalui revisi UU MK beberapa waktu lalu yang salah satunya mengubah masa jabatan hakim dari 5 tahun menjadi 15 tahun dan berusia 60 tahun menjadi 70 tahun. Maka boleh jadi UU ini tak akan dibatalkan oleh MK dan bahkan dapat diberlakukan 30 hari sejak disetujui oleh DPR.
*)Dr. Agus Riewanto, Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum dan Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH Universitas Sebelas Maret Surakarta.