Jakarta, CNN Indonesia — Pengadilan khusus pemilu didesak untuk segera direalisasikan demi memangkas para pencari keuntungan akibat banyaknya pintu putusan kasus pemilu. Selain itu, perlu ada pemangkasan kewenangan berlebih Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Agus Riewanto, pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Univeritas Sebelas Maret, dalam diskusi daring bertajuk ‘Menakar Urgensi Pengadilan Khusus Pemilu’, yang digelar Perludem, Minggu (2/8), menyebut ada lima pintu dalam sistem peradilan kasus pemilu di Indonesia.
Yakni, pengadilan kasus pelanggaran administrasi di Bawaslu hingga jenjang kabupaten/kota, pelanggaran pidana pemilu di Sentra Penegakan Hukum Terpadu dan pengadilan negeri, sengketa proses pemilu di Bawaslu, kode etik penyelenggara pemilu di DKPP, dan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Praktek justice in many rooms,” katanya, “membuka peluang orang untuk mencoba mencari keuntungan. Jika di tempat ini gagal, cari lagi di tempat lain. Tentu ini membahayakan sistem pemilu kita karena menjadi tidak pasti dan membuat orang coba-coba.”
Agus mencontohkannya dalam kasus Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) yang juga caleg DPD RI di Pemilu 2019. Saat itu, KPU menggagalkan pencalonannya karena mendasarkan pada keputusan MK bahwa caleg DPD tak boleh berasal dari parpol.
OSO kemudian menggugat ke Mahkamah Agung yang kemudian mengabulkannya. Namun, pada akhirnya KPU tetap berpegang pada putusan MK yang dianggap lebih tinggi.
Selain itu, ada kasus Ngadiono yang namanya dicoret dari daftar caleg karena sanksi pelanggaran pemilu berupa penggunaan mobil dinas berdasarkan putusan pengadilan negeri. Politikus Partai Gerindra itu kemudian menempun jalur PTUN dan tak terbukti bersalah.
Menurut Agus, kasus-kasus di atas memicu ketidakpastian hukum pemilu dan menurunkan wibawa peradilan.
“Jadi tumpang tindih putusan pengadilan, membuat kepastian hukum tidak tercapai,” kata Agus.
“Mempersulit pencari keadilan, pengadilan pun menjadi tidak berwibawa,” lanjutnya.
Dia pun menyodorkan tiga model pengadilan khusus pemilu untuk menyatukan atau mereduksi jumlah pintu pengadilan pemilu. Model pertama, katanya, badan peradilan khusus di bawah MA. Syaratnya, peradilan ini harus didasarkan atas perundangan baru.
Tugasnya, menangani semua jenis kasus pemilu, mulai dari administrasi, pidana, sengketa pemilihan, hingga perselisihan hasil pemilu.
“Problemnya MA menolak karena banyak problem. Ini kan tugas baru, menambah birokrasi baru,” kata Agus.
Model kedua, badan peradilan khusus otonom yang terpisah dan sejajar dengan MA dan MK. Agus menilai model ini bisa meminimalisasi potensi korupsi peradilan yang ada di MA dan MK karena berisi sistem dan orang-orang baru.
“Masalahnya, perlu mengubah Pasal 24 UUD 1945 lewat amendemen. Ini perlu konsensus politik dan momentum khusus,” imbuh dia.
Model ketiga, transformasi Bawaslu menjadi semi peradilan (quasi judiciary). Tugas Bawaslu nantinya lebih kepada penguatan penindakan kasus administrasi, proses pemilu, kode etik.
Sementara, kasus pidana pemilu dan perselisihan hasil pemilu masing-masing tetap di PN dan MK.
“Selama ini ada konflik, bermasalah, karena Bawaslu sebagai pengawas dan penegak hukum. Bagaimana pengawas menindak, menjadi hakim. Lazimnya tidak terjadi. Pengawasan dialihkan ke publik saja, seperti ormas atau aktivis pemilu,” tutur dia.
Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPU Hasyim Asyari mengakui ada masalah dalam peradilan pemilu saat ini yang membuat pihaknya kerap menghadapi dilema. Senada dengan Agus, ia mencontohkannya dalam kasus OSO yang menghasilkan putusan bertentangan antar lembaga peradilan.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Angraini pun menyarankan pelembagaan peradilan pemilu secara khusus untuk mengurangi kewenangan berlebih Bawaslu sekaligus mengharmonisasikan skema penegakan hukum pemilu.
“Beban bertumpuk pada satu lembaga, tumpang tindih kewenangan antar lembaga yang ada,” ucapnya.
Atas dasar itulah, Anggota Komisi II DPR RI Saan Mustopa menyebut pihaknya mendorong realisasi pengadilan khusus pemilu dalam pembahasan RUU Pemilu. Jika memungkinkan, lembaga ini tetap berada di bawah MA.
Bahkan kata dia, pihaknya juga akan mengusulkan agar peradilan ini tak hanya memusat di satu lembaga saja melainkan akan ada di setiap kabupaten/kota bahkan provinsi agar penyelesaian sengketa bisa diselesaikan di wilayah masing-masing.
“Dan supaya mempercepat proses, ini bisa tersebar juga. Misalnya untuk tangani sengketa di level kabupaten, provinsi, ini bisa diselesaikan lewat Pengadilan Tinggi seperti hari ini semua perkara korupsi itu masuk MA semua, tapi bisa ada pengadilan Tipikor,” kata politikus Partai NasDem itu.
Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul Cegah Pencari Untung, 3 Pengadilan Khusus Pemilu Digagas, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200803045902-32-531447/cegah-pencari-untung-3-pengadilan-khusus-pemilu-digagas