Antonius Christian l Senin, 23 Oktober 2023 | 09:57 WIB

RADARSOLO.COM – Stigma dinasti politik akan semakin kentara setelah Gibran Rakabuming Raka menerima pinangan sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto. Bahkan bila mereka terpilih, akan muncul kesan bila Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengontrol pasangan ini.
Pengamat politik asal Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto mengatakan, skenario Prabowo-Gibran sebenarnya sudah diseting sejak lama. Sehingga bukan lagi hal yang mengejutkan bagi publik.
“Malah saya terkejut kalau yang dipasangkan bukan Gibran,” ujar Agus.
Agus mengatakan, anggapan dinasti politik juga akan menyertai dinamika politik ini. Dimana publik bisa menilai hal tersebut. Terutama bagi Gibran. Mengingat sang ayah merupakan penguasa di negeri ini. Kondisi ini akan memunculkan ketidaknyamanan dari masyarakat.
“Seperti yang kita tahu selama ini masyarakat Indonesia memiliki rasa cinta, sayang, dan hormat terhadap Presiden Jokowi selama memimpin negara ini. Namun di ujung pemerintahan dia malah ada dinamika politik seperti ini. Maka dia akan meninggalkan legacy atau warisan yang tidak baik di mata publik,” ujarnya.
Lebih lanjut, Agus menilai, akan muncul anggapan bila Jokowi ingin mempertahankan kekuasaan dalam genggamannya. Bahkan lebih ekstrem, apabila nanti pasangan Prabowo-Gibran ini menang, maka sejatinya presidennya tetap Jokowi.
“Tentu Jokowi akan cawe-cawe. Meskipun beliau di publik mengatakan tidak, namun di belakang siapa yang tahu,” ujarnya.
Bila benar seperti ini maka cara berpikir Presiden Jokowi sama dengan pemikiran kepala daerah. Seperti diketahui di sejumlah daerah para bupati dan wali kota banyak yang “mewariskan” kekuasaan kepada keluarganya.
“Seperti di Klaten, Sukoharjo, Sragen, dan banyak daerah lain. Penggantinya dari kalangan keluarga. Nah, berarti Jokowi ingin mengelola negara seperti mengelola daerah. Ini urusan negara lho, bukan level mengurus kecamatan. Hubungan antarnegara, aspek global, ini menyangkut Indonesia emas 2045. Jadi tidak bisa dikelola dengan sembarangan,” urai Agus.
Secara regulasi, memang tidak ada yang dilanggar. Semua berhak mencalonkan atau dicalonkan. Namun secara etik, kepatutan dan kepantasan lebih dari regulasi yang berlaku. Sehingga mumpung belum ada deklarasi, Gibran sebaiknya mengurungkan niatnya. Bila ini dilakukan maka simpati publik akan semakin besar.
“Akan menjadi pemimpin di masanya, tidak saat ini. Lebih baik berjeda dulu agar tidak kelihatan ada dinasti politik. Jeda dulu, 5 tahun, tetap menjadi wali kota atau gubernur mungkin. Nanti ada masanya. Tidak perlu terburu-buru. Karena kalau orang baik. Bekerja dengan tekun, meninggalkan legacy yang baik, maka publik bisa menilai sendiri,” ujarnya.
Bagaimana kalau partai-partai tetap mengusung Prabowo-Gibran? Agus menilai pasangan ini tidak mudah untuk melenggang ke istana. Sebab, harus dipahami, pemilih di Indonesia rata-rata silent majority. Sebab, tidak semua orang memiliki ruang untuk berbicara.
“Nah, silent majority ini yang harus jadi perhatian pihak yang mencalonkan Gibran,” tuturnya.
Partai-partai politik yang mengusung dalam Koalisi Indonesia Maju juga dinilai tidak memiliki etika. Sebab, Gibran merupakan kader dari PDIP. Namun dirayu dan dibujuk untuk dijadikan pasangan dari Prabowo. Ibaratnya seperti merusak rumah tangga orang lain.
“Kenapa tidak mencalonkan kader internal partai? Ini akan muncul stigma, bahwa parpol tersebut tidak sanggup mendidik kadernya, sehingga hanya mementingkan langkah praktis. Padahal mereka punya kader yang mumpuni. Ini pelajaran buruk bagi pengelolaan parpol,” papar Agus. (atn/bun)
Sumber : https://radarsolo.jawapos.com/nasional/843102093/gibran-jadi-cawapres-prabowo-muncul-kesan-jokowi-bakal-ikut-cawe-cawe-jika-mereka-terpilih