Ilustrasi pengertian dan fungsi hak angket DPR RI.(KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)
Ilustrasi pengertian dan fungsi hak angket DPR RI.(KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)
JAKARTA, KOMPAS.com – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto, mengatakan, hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tak bisa membatalkan hasil Pemilu 2024.
Jika hak angket digunakan untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu, kata Agus, hasil atau output-nya sebatas rekomendasi atau teguran dari DPR
“Hanya berupa rekomendasi. Rekomendasi itu ada beberapa kemungkinan, misalnya, memperbaiki apa-apa yang kira-kira dilanggar oleh eksekutif, sehingga perlu diperbaiki,” kata Agus kepada Kompas.com, Sabtu (24/2/2024). “Kedua, bisa dalam bentuk teguran tertulis, dan seterusnya,” lanjutnya.
Agus menjelaskan, hak angket pada prinsipnya merupakan hak institusional DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Objeknya berupa kebijakan pemerintah yang strategis dan berpengaruh terhadap masyarakat, yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan. Sementara, pemilu bukan merupakan kerja pemerintah. Pemilu diselenggarakan oleh lembaga independen bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Oleh karenanya, jika hak angket ditujukan ke pemerintah, DPR akan menyelidiki kerja-kerja dan kegiatan pemerintah yang menyangkut pemilu, bukan terkait penyelenggaraan pemilu itu sendiri.
“Hak angket ini kan ranahnya politik. Makanya sering disebut sebagai right of impeachment (hak memakzulkan), jadi semacam meng-impeach (memakzulkan) tindakan pejabat publik dalam jabatan,” ujarnya. Agus menjelaskan, hak angket tidak dapat memengaruhi hasil pemilu. Sebab, menurut ketentuan konstitusi, kewenangan untuk menangani perselisihan hasil pemilu berada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Jika ada pihak yang ingin hasil pemilu dibatalkan, suara pemilu dihitung ulang, atau pemilu dianggap tidak sah, maka pihak tersebut harus mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilu ke MK.
“Pembatalan, penghitungan ulang soal pemilu itu ranahnya di Mahkamah Konstitusi, bukan ranah politik,” kata Agus.
“Jadi pembatalan pemilu itu hanya bisa dilakukan menurut ranah hukum, bukan ranah politik. Hak angket dan seterusnya di DPR itu ranah politik,” tuturnya.
Adapun wacana penggunaan hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 pertama kali diusulkan oleh kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Ganjar mendorong dua partai politik pengusungnya pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menggunakan hak angket di DPR. Menurutnya, DPR tidak boleh diam terhadap dugaan kecurangan pemilu yang sudah terang-terangan.
“Dalam hal ini, DPR dapat memanggil pejabat negara yang mengetahui praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggung jawaban KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) selaku penyelenggara Pemilu,” kata Ganjar dalam keterangannya, Senin (19/2/2024).
Usulan itu disambut oleh kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Tiga partai politik pengusung Anies-Muhaimin, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), setuju untuk menggunakan hak angket.
“Kami ketemu dan membahas langkah-langkah dan kami solid karena itu saya sampaikan, ketika insiatif hak angket itu dilakukan maka tiga partai ini siap ikut,” kata Anies saat ditemui di Kantor THN Anies-Muhaimin Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa (20/2/2024).
Bertolak belakang, kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tak setuju dengan penggunaan hak angket.
Meski jadi perbincangan hangat, hak angket masih jadi wacana. Hingga saat ini, belum ditempuh mekanisme resmi mengenai penggunaan hak tersebut untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu.