Senin, 27 Mei 2024 | 14:17 WIB
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2024 (PHPU DPR/DPRD) yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), pada Senin (27/5/2024). Dalam sidang Perkara Nomor 125-01-08-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 ini, MK menghadirkan Didik Supriyanto sebagai ahli yang menjabarkan basis penghitungan persentase 30% keterwakilan perempuan dalam perolehan kursi oleh partai politik peserta Pemilu 2024.
Di hadapan Majelis Sidang Panel 2 yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini, Didik mengatakan dengan diakuinya hak pilih secara universal, maka perempuan perlu ruang publik untuk hadir di arena politik melalui kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota berdasarkan gender. Hal ini dilakukan guna menjamin kesetaraan penuh antarwarga negara. Oleh karenanya, berpedoman pada Pasal 245 UU 7/2017 yang menyatakan “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)” ini maka kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota 30% calon perempuan harus dijalankan secara konsisten demi meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.
Namun sejauh ini, sambung Didik, hasil pemilu legislatif jauh dari model perwakilan deskriptif karena jumlah anggota parlemen perempuan tak sebanding dengan jumlah penduduk perempuan. Sejak Pemilu 1999, upaya ini telah dilakukan misalnya dalam UU Parpol, yakni UU 31/2002 Pasal 13 ayat (3) serta UU 2/2008 Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5). Selain itu, ada pula dalam UU 12/2003, UU 10/2008, UU 8/2012, dan UU 7/2017.
“Semua aturan tersebut inti isinya hampir sama tentang 30% keterwakilan perempuan. Namun yang jadi masalah ketika Pemilu 2024 ini, PKPU 2024 menafsirkan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan itu boleh lebih, boleh kurang. Akibatnya pada daerah yang kurang misalnya, 4 kursi, 7 kursi, 8 kursi, 11 kursi, jika diterjemahkan dengan cara boleh lebih boleh kurang tersebut maka tidak akan mencapai syarat 30%. Sehingga ini menimbulkan masalah bagi partai-partai tersebut karena tidak sesuai dengan tuntutan UU Pemilu. Yang ada justru ada banyak pelanggaran dan pengabaian dalam pelaksanaan PKPU 10/2023 ini. Terbukti dengan dikabulkannya judicial review di MA dan Bawaslu menyatakan KPU terbukti melakukan pelanggaran administrasi,” jelas Didik.
Berdampak pada Kepastian Hukum Pemilu
Sementara itu, Agus Riwanto (pengajar dari FH Universitas Sebelas Maret (UNS) selaku Ahli yang dihadirkan Termohon (KPU) memberikan keterangan menyoal Putusan Mahkamah Agung Nomor 24 Tahun 2023 terhadap Uji Materi PKPU 10/2023 (Pencalonan 30% Perempuan Tiap Dapil DPR/DPRD) yang berdampak pada penjadwalan penyelenggaraan pemilu dan kepastian hukum yang menyertainya.
Ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 menyatakan, “Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: a. kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.” Norma ini, sambung Agus, telah memuat norma baru sebagaimana diputuskan MA dan tidak diperlukan lagi putusan pejabat yang berwenang untuk melakukan revisi terhadap PKPU 10/2023. Oleh karenanya, KPU cukup melaksanakannya dalam implementasi melalui kewenangannya.
Atas dasar kepatuhan KPU mengenai afirmatif keterwakilan perempuan ini, KPU telah mengirim surat kepada beberapa pihak, di antaranya kepada ketua parpol yang meminta agar mematuhi Putusan MA terkait syarat keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif 2024; mengirim surat kepada Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham RI agar dilakukannya harmonisasi rancangan PKPU; mengirim surat kepada pimpinan Komisi II DPR RI dalam rangka penjadwalan RDP untuk rancangan PKPU baru; dan mengirimkan surat kepada MA agar dikeluarkannya fatwa terkait putusan MA.
“Berdasarkan keempat tindakan hukum ini, maka KPU telah melaksanakan kewenangannya dalam proses pencalonan anggota DPR dan memberikan kesempatan pada parpol untuk memperbaiki syarat keterwakilan dari anggota parpolnya sebagaimana Putusan MA tersebut,” sampai Agus.
Tidak Lengkap sebagai Norma Hukum
Selain itu, Agus juga menyebutkan bahwa KPU tidak melakukan pelanggaran yang tidak memuat keterwakilan 30% perempuan sebagaimana dinormakan pada Pasal 245 UU 7/2017. Sebab pada norma tersebut sesungguhnya belum mempertimbangkan hakikat afirmasi tersebut pada penjadwalan pemilu yang sangat ketat. Dengan kata lain, penjadwalannya tidak boleh maju atau mundur terutama bersambungan dengan pelantikan anggota dewan yang terpilih nantinya.
“Pasal 245 ini merupakan norma yang tidak lengkap sebagai norma hukum, sehingga hanya memuat perintah dan tidak memuat sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi syarat itu. Oleh karenanya, ketidakadilan politik bagi perempuan ini telah ada dalam pikiran pembuat undang-undang pemilu, maka ketentuan ini cacat hukum sejak kelahirannya. Selain itu, Putusan MA ini tidak dapat dilaksanakan secara retroaktif, sebab lahirnya 29 Agustus 2023 dan baru diterima KPU pada 11 September 2023, di mana pada masa itu masuk pada jadwal pencalonan dan tanggapan masyarakat atas DCS. Di sini KPU telah menetapkan DCS, tahapan pencalonan ini satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan mulai dari pengumuman dan penentuan DCT. Sehingga Putusan MA ini menyulitkan KPU dalam pelaksanaannya, jika mundur akan mengganggu tahapan pemilu lainnya dan mengganggu agenda pemungutan, pelantikan DPR, dan bahkan pelantikan Presiden. Ini akan berdampak pada pelanggaran konstitusi yang serius,” jelas Agus.
Kesaksian Parpol
Pada kesempatan sidang ini, PKS menghadirkan dua saksi yakni Upik P. Nadjamuddin dan Nur Entin Lasabuda. Pada kesaksian dari Upik menceritakan bagaimana proses pengajuan keberatan yang dilakukan pihaknya pada saat rekapitulasi tingkat nasional 9 Maret 2024 lalu.
“Saya hadir sebagai saksi mandat dan mengajukan keberatan keterwakilan 30% perempuan khusus Dapil Gorontalo 6 karena hanya ada itu datanya. Saat itu sempat diprotes mengapa keberatan baru di pusat bukan di provinsi. Kami bertemu dengan Ketua KPU Pusat dan menyatakan persoalan yang selama ini tidak ada ketegasan dari KPU Provinsi terkait parpol-parpol yang tidak memenuhi kuota 30%. Ketua KPU Pusat menerima dengan baik dan akan menjadikan berita acara yang akan dicatat. Pernyataan keberatan kami ini ditandatangani oleh saksi dan Ketua KPU Pusat,” kisah Upik.
Kemudian Nur Entin Lasabuda dalam kesaksiannya menyebutkan pada 23 September 2023, KPU Provinsi Gorontalo melakukan penetapan DCT (daftar calon tetap) Provinsi Gorontalo. Pada saat itu, sambung Nur, dilakukan pembahasan dalam sebuah rapat koordinasi terhadap tindak lanjut dari Putusan MA yang telah dikeluarkan secara resmi pada 29 Agustus 2023.
“Pada bahasan terakhir tidak ada penyelesaian, apakah putusan MA ini akan dilaksanakan untuk penyelenggaraan pemilihan saat ini atau nanti? Jawaban mereka, belum bisa mengambil kebijakan karena belum ada Putusan KPU. Pada diujung pertemuan, hanya disebutkan sebaiknya parpol mengikuti ketentuan yang telah diputuskan oleh MA tersebut. sehingga kami awalnya belum memenuhi syarat keterwakilan itu, awalnya anggota kami ada 8 anggota laki-laki dan 2 perempuan, kemudian kami lakukan perbaikan sehingga ada anggota laki-laki sejumlah 7 orang dan perempuan sejumlah 3 orang. Adapun verifikasi ini dijadwalkan per partai, jadi tidak ada informasi apakah partai lainnya memenuhi atau tidak syarat dari afirmasi ini,” sampai Nur.
Untuk diketahui, dalam Sidang Pendahuluan pada Jumat (3/5/2024) lalu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyebutkan bahwa berdasarkan persandingan perolehan suara dan jumlah kursi atas keterwakilan perempuan paling sedikit 30%, maka PKB, Gerindra, NasDem, dan Demokrat tergolong pada partai politik yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan 30% pada Dapil Gorontalo 6. Sehingga Pemohon menilai perolehan suara parpol dan calon anggota legislatif dari partai tersebut bertentangan dengan Pasal 248 UU Pemilu. Bahkan, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 24P/HUM/2023 menyatakan hal yang sama. Namun demikian, Termohon tidak menjalankan putusan tersebut dengan tetap meloloskan partai politik berikut dengan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota dewan yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Akan hal ini, Pemohon telah mengajukan keberatan pada Termohon saat Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Nasional dalam form Model D kejadian khusus. Dari 18 partai politik terdapat 5 partai politik yang pengajuan calonnya memenuhi keterwakilan perempuan 30% pada Dapil Gorontalo 6, yakni PDIP, Golkar, PPP, dan PKS sebesar 36,36%; dan PAN sebesar 45,45%. Sehingga keberadaan 4 parpol yang tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30% mempengaruhi perolehan kursi Pemohon.
Dengan demikian, Pemohon memohonkan agar Mahkamah mendiskualifikasi 4 partai politik yang tidak memenuhi kuota keterwakilan perempuan paling sedikit 30% sepanjang Dapil Gorontalo 6 untuk keanggotaan DPRD Provinsi Gorontalo Dapil Gorontalo 6. Selain itu, Mahkamah juga dimohonkan dapat menetapkan hasil perolehan suara dan jumlah kursi terpenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30% yang benar untuk Pemohon untuk pengisian keanggotaan DPRD Provinsi Gorontalo Dapil Gorontalo 6 adalah PJS dengan perolehan suara parpol dan calon adalah 7.343 suara atau serata dengan 36,36%, dan mendapatkan 1 kursi.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Sumber : https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=20999&menu=2