Catatan Prof. Agus Riwanto, Guru Besar Hukum Tata Negara UNS Surakarta

Rabu, 20 Agustus 2025
Reporter & Editor : ANGGOWO ADI SEPTANINGRAT
RM.id Rakyat Merdeka – Beberapa hari lalu, seorang sahabat menyinggung hal menarik, soal Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Lembaga penerus BP7 dan UKP-PIP ini kabarnya bakal diperkuat kewenangannya lewat RUU BPIP yang tengah digodok Baleg DPR dalam Prolegnas 2025.
Menariknya, pemerintah disebut ingin mengubahnya menjadi RUU PIP. Alasannya, agar BPIP lebih sinkron dengan Presiden. Apapun kepentingannya, sah-sah saja. Namun, sebelum buru-buru pro atau kontra, ada baiknya kita bedah dulu fondasi moral dan hukumnya.
Degradasi Nilai Pancasila
Pancasila merupakan dasar negara dan ideologi yang kedudukannya fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai ketentuan Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Namun, kini pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila semakin menurun. Bahkan berkecenderungan mengalami degradasi nilai kebangsaan ditandai rendahnya apresiasi terhadap gotong royong, toleransi, serta penurunan nasionalisme. Fenomena ini menguatkan urgensi PIP secara sistematis, akurat, dan berkesinambungan.
Itulah sebabnya menjadi keniscayaan agar negara mengambil peran melakukan kegiatan untuk menanamkan dan menjaga nilai-nilai Pancasila. Negara perlu secara terus menerus melakukan PIP kepada seluruh penyelenggara negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) dan seluruh elemen masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pembinaan Pancasila Sektoral
Realitasnya, ketentuan yang mengatur PIP masih bersifat sektoral. Itulah mengapa pemerintah era Presiden Jokowi mengambil inisiatif melahirkan BPIP melalui Perpres No.7 Tahun 2018 tentang BPIP. Namun karena pengaturan institusionalisasi BPIP ini hanya dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres), maka PIP hanya berada di tangan Presiden. Bergantung kuasa diskresional-nya tanpa pelibatan partisipasi publik dan kelembagaan negara yang lain.
Berdasarkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), Perpres menempati urutan paling bawah dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perpres merupakan peraturan yang ditetapkan Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Artinya, keberadaan BPIP semata-mata bergantung pada kewenangan diskresional Presiden, sehingga secara politik rawan dibubarkan dan tidak menjamin kesinambungan program PIP.
Lebih dari itu, kedudukan Perpres yang lebih rendah dibanding undang-undang menyebabkan kelembagaan BPIP lemah secara konstitusional, sehingga Pembinaan Ideologi Pancasila masih sangat bergantung pada diskresi Presiden. Hal ini menimbulkan problem efektivitas dan akuntabilitas kinerja BPIP.
Akibatnya, PIP belum mengikat bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang spiritual, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Parahnya lagi, PIP tidak dilakukan secara berkesinambungan, sinkron, dan partisipatif.
Maka saat ini sangat urgen diatur secara komprehensif PIP dan badan yang menyelenggarakannya ke dalam UU tersendiri agar lebih fungsional dan mengikat. Karena dalam desain kelembagaan negara pascaamandemen UUD 1945 semua lembaga negara diatur dalam UU organik khusus. Lihatlah faktanya, mulai dari lembaga tinggi negara, seperti DPR, MPR, DPD, MA, MK, KY, BPK, BI; lembaga organ utama negara (Polri, TNI, Kejaksaan, hingga Pemda Propinsi/Kabupaten/Kota), dan lembaga negara bantu, seperti KPK, KPU, Ombudsman, KPI, KPPU, hingga KomnasHAM.
Memaknai Pengaturan Pancasila
Maka sesungguhnya pengaturan PIP ke dalam UU khusus harus dimaknai: Pertama, bukan hendak menafsirkan secara tunggal oleh negara terhadap sila-sila dalam Pancasila. Kedua, bukan menurunkan derajat Pancasila sebagai dasar dalam UUD 1945 menjadi diatur dalam UU. Ketiga, bukan merepitisi praktik Orde Baru yang mengubah Pancasila menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Keempat, bukan penjelmaaan BP7.yang cenderung indoktrinatif.
Bukan keempat hal tersebut, melainkan harus dimaknai sebagai upaya ketatanegaraan menempatkan model PIP melalui pengaturan kelembagaan negara. Lebih dari itu, harus pula dimaknai sebagai niat yang tulus komponen bangsa untuk menjaga, memahami, menghayati, mengamalkan dan membudayakan nilai Pancasila agar terhindari dari infiltrasi paham dan ideologi yang menggerus Pancasila antara lain, Komunisme, Marxisme, Leninisme dan Khilafahisme.
Pembinaan Ideologi di Negara lain
Penempatan pengaturan pembinaan ideologi negara di Jerman, pembinaan demokrasi dan nilai konstitusional difasilitasi oleh Bundeszentrale für politische Bildung (BpB) yang dasar hukumnya jelas dalam peraturan federal. Indonesia seharusnya menempatkan BPIP dengan dasar hukum UU agar memiliki legitimasi politik, hukum, dan kelembagaan yang lebih kuat.
Konstitusionalitas pengaturan PIP dalam UU merujuk pada ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka sesungguhnya PIP merupakan bagian dari mandat ini.
Jika pembinaan ideologi hanya menjadi tugas Presiden melalui Perpres, maka akan ada kesenjangan antara kewajiban konstitusional dan instrumen hukum yang mengatur. Maka UU PIP perlu mengatur tujuan, asas, bentuk kelembagaan, mekanisme koordinasi antar lembaga negara, serta peran masyarakat dalam pembinaan ideologi Pancasila. UU ini akan memberikan dasar hukum yang lebih kuat, menjadikan PIP sebagai kewajiban negara (state obligation) bukan sekadar program kerja Presiden (Presidential Program).
Dengan dasar hukum UU, BPIP dapat memiliki kedudukan yang lebih kuat dalam struktur ketatanegaraan, setara dengan lembaga-lembaga negara yang kedudukannya diatur melalui UU seperti KPK, KomnasHAM, Komisi Informasi, Komisi Penyiaran, dan sebagainya. Sehingga tidak hanya bertanggung jawab kepada Presiden tetapi juga kepada DPR sebagai representasi rakyat.*
Penulis adalah Guru Besar Hukum Tata Negara UNS Surakarta serta panelis debat Pilgub Jateng dan Pilpres 2024.