
Oleh Agus Riewanto – 26 Agt 2025 17:00 WIB · Artikel Opini
Belum lama ini DPR bersepakat memilih Inocentius Samsul, mantan Kepala Keahlian DPR, sebagai calon tunggal hakim Mahkamah Konstitusi, menggantikan Arief Hidayat yang akan pensiun pada 3 Februari 2026.
Terpilihnya calon hakim MK tanpa melalui seleksi terbuka dan melibatkan partisipasi publik yang luas, serta ketidakjelasan rekam jejak ini, dikritik publik. DPR dicurigai memiliki agenda terselubung di balik seleksi hakim MK ini. Benarkah demikian?
MK merupakan salah satu pilar utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia paca-amandemen UUD 1945. Keberadaan MK dimaksudkan untuk menjaga konstitusi, memastikan supremasi hukum, dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
Namun dinamika pengisian jabatan hakim MK masih menyisakan persoalan serius karena berpotensi melemahkan independensi hakim dan kelembagaan MK.
Sesungguhnya absennya partisipasi publik dalamm seleksi hakim MK berimplikasi pada delegitimasi MK karena hakim yag dipilih dianggap tentu saja menimbulkan kecurigaan publik dan berpotensi menggerus kepercayaan publik kepada lembaga MK.
Mekanisme seleksi hakim MK yang tertutup memperbesar peluang hakim MK dipersepsikan membawa misi politik lembaga pengusul (DPR). Hal ini bertentangan dengan prinsip independensi hakim sebagaimana dijamin dalamPsal 24XC UUD 1945.