Merendahkan Martabat MK

Oleh : AGUS RIEWANTO l 7 Juni 2023 06:36 WIB

Pernyataan seorang pakah HTN tentang putusan MK berkonsekuensi politik-hukum yang tidak sederhana. Pernyataan itu memberi kesan seakan-akan putusan MK dapat dipesan sesuai kehendak kelompok kepentingan tertentu.

Belum lama ini publik dikejutkan oleh pernyataan seorang pakar hukum tata negara bahwa Mahkamah Konstitusi akan membuat putusan mengubah sistem pemilihan legislatif dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

Ia mengaku mendapatkan informasi itu dari sumber kredibel. Sontak saja ini jadi berita viral dan menuai kontroversi. Pakar hukum tata negara (HTN) yang berprofesi sebagai advokat sekaligus mantan wakil menteri hukum dan HAM itu, ketika diburu awak media yang menanyakan kepastian sumber informasi putusan MK, selalu mengelak.

Ia bahkan mengarahkan media agar tak fokus pada sumber informasinya, tetapi lebih fokus pada substansi yang menurut dia bagian dari kontrol terhadap MK (Kompas, 2/6/2023). Bagaimanakah menyikapi peristiwa ini dari aspek hukum?

Berpendapat sesuai hukum

Menyampaikan pendapat dengan tujuan untuk mengontrol lembaga-lembaga negara di era demokrasi memang penting dilakukan, tetapi sebaiknya dilakukan secara proporsional sesuai dengan nalar dan hukum.

Jika niat baiknya adalah untuk mengontrol MK, sepatutnya tidak dilakukan dengan membuat insinuasi dan narasi: mengetahui isi putusan MK. Padahal, juru bicara MK dan Ketua MK sendiri menyatakan, hakim-hakim MK belum memutuskan perkara tersebut.

MK memang telah mengakhiri persidangan uji materi UU Pemilu pada 23 Mei 2023 setelah menggelar sidang sebanyak 16 kali dan kesimpulan di kepaniteraan MK baru dilaksanakan pada 31 Mei 2023.

Konsekuensi politik-hukum pernyataan

Pernyataan pakar HTN ini berkonsekuensi politik-hukum yang tidak sederhana, yakni menghina dan merongrong wibawa MK karena pernyataan itu seolah-olah menegaskan bahwa putusan-putusan MK selama ini mudah diakses oleh orang-orang tertentu di luar MK sebelum diputuskan oleh MK. Maka, akibatnya, putusan MK dapat bocor sebelum diputuskan.

Padahal, dokumen putusan MK yang belum dibacakan masih merupakan dokumen yang dikategorikan dikecualikan atau rahasia negara sebagaimana dinyatakan di UU No 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Karena putusan MK dapat memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara, kecil kemungkinan dokumen ini bocor sebelum diputuskan hakim MK.

Juga merendahkan martabat MK karena ungkapan itu hendak menyatakan seakan-akan putusan MK dapat dipesan sesuai kehendak kelompok kepentingan tertentu, padahal mahkota pengadilan itu putusan pengadilan, maka pasti tak bisa dipesan.

Sesuai kode etik hakim berdasarkan The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002, hakim dalam perilakunya berprinsip pada independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan kesaksamaan (competence and diligence).

Kode etik itu telah diintegrasikan dalam Peraturan MK No 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi: Sapta Karsa Hutama. Maka, tak mungkin rasanya putusan MK bisa dipesan, karena jika bisa dipesan, hilanglah mahkota pengadilan dan jatuhlah martabat MK ke tubir jurang nestapa.

Pernyataan pakar HTN itu berpotensi membodohi publik karena seolah hendak memprovokasi publik untuk tidak memercayai MK sebagai lembaga negara satu-satunya yang akan memutuskan hal ihwal uji materi perkara konstitusional sesuai Pasal 24C UUD 1945.

Pernyataan itu merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang kebablasan. Ruang kebebasan bukan tanpa batas. Pembatasan ditetapkan dengan UU untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pernyataan itu membuat ketakutan para politisi karena telah memantik delapan parpol di DPR terprovokasi untuk membuat pernyataan akan menolak putusan MK jika MK mengubah sistem pemilu menjadi tertutup.

Sesuai Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, tindakan pakar HTN itu nyata bentuk dari pelanggaran konstitusi. Pernyataan itu membuat ketakutan para politisi karena telah memantik delapan parpol di DPR terprovokasi untuk membuat pernyataan akan menolak putusan MK jika MK mengubah sistem pemilu menjadi tertutup.

Bahkan, mereka mengancam akan menggunakan kekuasaannya untuk mempreteli kewenangan MK dengan merevisi UU MK dan mempersulit anggaran MK (Kompas, 30/5/2023). Jika ancaman DPR itu direalisasikan, bukankah Indonesia tidak lagi berdasarkan konstitusi, tetapi berdasarkan kekuasaan, karena politik telah mendominasi konstitusi?

Pernyataan itu juga meresahkan publik dan mendorong situasi politik nasional jadi mencekam, karena jika MK mengubah sistem pemilu menjadi tertutup, hal itu akan menyebabkan kekacauan (chaos) pelaksanaan Pemilu 2024 karena waktunya terbatas. Dalam banyak kesempatan, KPU RI menyatakan tidak kesulitan untuk melaksanakan putusan MK.

Maka, pernyataan pakar HTN itu juga merendahkan kinerja KPU dalam pelaksanaan pemilu. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2009, MK pernah mengeluarkan Putusan MK No 22-24/ PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2023 yang mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka terbatas menjadi terbuka hanya berselang empat bulan sebelum pemilu 9 April 2004. Uniknya, tak terjadi masalah apa pun saat itu.

Perlu tindakan hukum

Oleh karena itu, agar publik dapat memetik pelajaran berharga dari kasus ini dan untuk memastikan berjalannya negara hukum, dapat dilakukan dua hal berikut. Pertama, MK perlu mengklarifikasi pendapat pakar HTN itu dalam sidang kode etik khusus MK untuk memastikan sumber informasinya, motivasinya, dan rangkaian politik hukum di balik pernyataannya.

Jika tak terbukti putusan MK bocor, selayaknya pakar HTN itu diberi sanksi blacklist, dilarang beracara di MK. Ini untuk memastikan bahwa MK tak tinggal diam dan menegaskan kepada publik bahwa MK independen dalam membuat putusan. Hal ini juga perlu dilakukan demi menjaga marwah dan martabat MK di mata publik nasional dan internasional.

Kedua, Polri dapat melakukan penyelidikan dan dilanjutkan ke penyidikan atas pernyataan pakar HTN tersebut, sekaligus merespons aktif laporan beberapa pihak kepada Polri.

Terdapat sejumlah dugaan delik yang dapat dikenakan, antara lain, membuat berita bohong (hoaks), penghinaan terhadap penguasa, dan membocorkan rahasia negara.

Agus Riewanto, Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UNS; Ketua Departemen APHTN-HAN

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/06/merendahkan-martabat-mk?status=sukses_login&status_login=login

About admin

Check Also

Polemik Mural Jokowi 404:Not Found di Tangerang, Pakar Hukum: Bukan Melanggar Simbol Negara

TRIBUN-VIDEO.COM – Mural Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertuliskan 404:Not Found di Tangerang tengah menjadi …

Waiting for the Constitutional Court’s Decision and the Hybrid Election System

By : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 The Constitutional Court is convening to decide …

Menanti Putusan MK dan Sistem Pemilu Hibrida

Oleh : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 07:37 WIB· Menyimak persidangan di MK yang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *